Tak Terima Namanya Ada di Akta PPJB Sebagai Pembeli Pulau Kepala Jeri, Remon Desman Ajukan Pembatalan

Marbun 86 bersama Remon Desman dan masyarakat Pulau Kepala Jeri saat berada di kantor Notaris Soehendro Gautama.

BATAM|KEPRIAKTUAL.COM: Seorang warga Batam, Remon Desman tiba-tiba mendatangi Kantor Notaris Soehendro Gautama yang berada di Jalan Raden Patah Komplek Gateway Blok A Nomor 1-2 Batam, Selasa (29/3/2022) siang.

Adapun maksud dan tujuan kedatangannya kesana adalah untuk melakukan pembatalan terhadap adanya akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) lahan kebun, sertifikat tanah dan bangunan di Pulau Kepala Jeri, Kelurahan Kasu, Kecamatan Belakangpadang, Kota Batam yang dibuat oleh Notaris Soehendro Gautama

"Saya Remon Desman datang ke Notaris Soehendro Gautama ini hanya untuk membatalkan akta PPJB yang saya tandatangani dulu, untuk kiranya supaya clear masalah ini dan membersihkan nama saya, karena di akte itu nama saya sebagai pembelinya," ucap Remon saat ditemui didepan kantor Notaris Soehendro Gautama, Selasa (29/3/2022) siang.

Dikatakannya, fakta yang sebenarnya adalah dia sama sekali tidak pernah membeli ataupun memberikan uang untuk membeli lahan tersebut sebagaimana yang tertera didalam akta PPJB tersebut.

Lanjutnya, awalnya dulu pada tahun 2016 dia pernah ditawarkan oleh teman satu kampusnya yang bernama Ega Sembiring, temannya itu menjanjikan akan memberinya uang jika dia mau menyerahkan fotocopy KTP dan menandatangani surat.

Menurut Remon, dia sama sekali tidak mengetahui surat yang ditandatanganinya pada waktu itu untuk apa. Dan, dia hanya mengetahui tanda tangannya saja.

"Informasinya dapat dari Ega Sembiring, waktu itu dia hanya minta fotocopy KTP saya, terus tandatangani surat lalu saya dikasih uang seperti itu," ungkap Remon.

Kemudian, Remon baru mengetahui saat dia dihubungi oleh Ketua DPP LSM Combating Corruption Indonesia (LSM-CCI), Agustien Hartoyo Lumbangaol atau biasa dia dipanggil Marbun 86, bahwasannya surat yang ditandatanganinya pada tahun 2016 silam adalah fiktif alias tidak benar.

"Tahunya setelah bang Marbun 86 hubungi saya dan orang tua saya, bahwasannya surat yang saya tandatangani dulu fiktif adanya," sebutnya.

Lalu, setelah dia mengetahui hal yang sebenarnya terjadi, diapun berniat untuk menyelesaikannya dengan mendatangi kantor notaris tempat akta PPJB itu dibuat, untuk membatalkan surat perjanjian itu.

"Semoga dengan kehadiran saya ke kantor notaris ini bisa menyelesaikan permasalahan yang saat ini dialami masyarakat Pulau Kepala Jeri," harapnya.

Terpisah, Ketua DPP LSM Combating Corruption Indonesia (LSM-CCI), Agustien Hartoyo Lumbangaol atau biasa dia dipanggil Marbun 86 mengapresiasi sikap yang telah dilakukan Remon Desman untuk membatalkan akta PPJB lahan kebun, sertifikat tanah dan bangunan di Pulau Kepala Jeri, yang telah dibuat oleh Notaris Soehendro Gautama.

"Saya bersama perwakilan masyarakat Pulau Kepala Jeri mengapresiasi serta mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Remon Desman yang telah berani membatalkan akta PPJB di kantor Notaris Soehendro Gautama," ucap Marbun 86.

Namun, pihaknya merasa kecewa dengan sikap yang ditunjukkan oleh perwakilan Notaris Soehendro Gautama, yakni Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Elina Kartini berkelit seolah-olah ada pihak-pihak lain yang mengikat perjanjian yang harus dibatalkan oleh pihak Remon Desman sendiri terhadap akta PPJB masyarakat Pulau Kepala Jeri.

"Ini yang sangat kami sayangkan, kenapa seorang PPAT masih saja suka berkelit tidak memenuhi profesinya secara profesional," imbuhnya.

Mengenai adanya dugaan penyimpangan terkait dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang telah dilakukan oleh Notaris Soehendro Gautama, pihaknya telah melaporkan hal itu ke kantor Ombudsman RI Perwakilan Kepulauan Riau yang berada di lantai I Gedung Graha Pena, Batam Center, Kamis (27/1/2022) lalu.

Pihaknya meminta agar dikembalikan lagi surat-surat berupa surat sertifikat kaveling dan bangunan serta surat alas hak (surat lahan kebun) milik warga yang sudah diserahkan kepada Notaris Soehendro Gautama.

Dia mengatakan, berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tanggal 2 Juli 2016 (point 7.3) menyebutkan bahwa batas waktu pihak pembeli memenuhi kewajiban dalam tempo waktu 120 hari dari saat jatuh tempo sesuai Pasal 4 huruf a,b dan c.

Selain itu lanjutnya, surat kesepakatan bersama pembayaran lahan kebun tanggal 24 Desember 2017 (point 2), bahwa pihak kedua sepakat membayarkan kepada pihak pertama (masyarakat) yang akan diperhitungkan sebagaimana diatur dalam PPJB tetap berlaku dan mengikat.

"Semua pembuatan salinan PPJB itu dilakukan dhadapan Notaris Soehendro Gautama," ujar Agustien atau biasa dia dipanggil Marbun 86 usai kegiatan.

Lanjutnya, atas dasar itulah pihaknya menilai Notaris Soehendro Gautama diduga telah melanggar UU Nomor 30 tahun 2004 (pasal 15) tentang jabatan Notaris, bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris.

Akan tetapi lanjutnya, selaku pembeli sebagai pihak kedua tidak pernah dihadapkan kepada pihak pertama selaku penjual (warga Kepala Jeri) dihadapan Notaris Soehendro Gautama.

"Pihak notaris diduga telah melanggar UU Nomor 30 tahun 2004 (pasal 15) tentang jabatan notaris, bahwa notaris berwenang dalam pembuatan akta dan memberikan salinan dan kutipan akta dan membuat copyan dari asli berupa salinan. Namun salinan itu tidak pernah diberikan ke masyarakat sejak tahun 2016 hingga sampai saat ini," jelasnya.

Masih kata dia, menurut UU nomor 30 tahun 2004 disebutkan bahwa setiap akta yang dibacakan oleh notaris dihadapan penghadap dihadiri paling sedikit dua orang saksi. Kemudian, setelah dibacakan akta tersebut lalu ditanda tangani oleh kedua belah pihak (Pasal 44).

"Saat itu yang hadir hanya pihak penjual dalam hal ini warga Kepala Jeri, tanpa kehadiran saksi dan pembeli selaku pihak kedua," imbuhnya.

Kemudian, pihaknya juga menemukan kejanggalan dari PPJB tersebut. Kejanggalannya yakni pihak kedua yang menjadi pembeli bukanlah atas nama perusahaan sebagaimana yang dijanjikan diawal, melainkan atas nama perorangan.

"Warga Kepala Jeri tidak pernah mengenal dan berjumpa dengan pihak pembeli yakni atas nama Remon Desman dan Muhammad Juliyanto," jelasnya.

Masih menurut dia, di dalam salinan kesepakatan pembayaran lahan kebun yang dibuat oleh Notaris Soehendro Gautama tanggal 24 Desember 2017, dan di dalam salinan PPJB yang diaktakan tanggal 2 Juli 2016, tidak bersesuaian dengan objek yang dijual.

"Masyarakat hanya menjual lahan kebun bukan kaveling dan bangunan milik warga," sebutnya.

Lanjutnya, dengan tidak dilaksanakannya kewajiban pembayaran oleh pihak kedua selaku pembeli lahan, maka dengan ini salinan dalam akta PPJB dan salinan dalam surat kesepakatan pembayaran lahan kebun yang dibuat oleh Notaris Soehendro Gautama, dianggap cacat hukum dan selanjutnya dapat diabaikan dan batal demi hukum.

"Dengan batalnya surat perjanjian itu, masyarakat meminta kepada Notaris Suhendro Gautama untuk memulangkan atau mengembalikan kembali surat-surat milik warga yang terlanjur diberikan tersebut," tegasnya.

Selain melaporkan Notaris Soehendro Gautama ke Ombudsman Perwakilan Kepri, pihaknya juga melaporkan juga nitaris itu ke Direktorat Jenderal AHU Kementerian Hukum HAM RI.

"Kami sudah kirimkan surat ke Derektorat Jenderal AHU Kementerian Hukum HAM RI. Semoga laporan kami bisa segera diproses," pungkasnya.

Fay/Red
Tags


Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator sebagaimana diatur dalam UU ITE. #MariBijakBerkomentar.



Posting Komentar

[blogger]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.