Dwi Harinto: Perusahaan Akan Memberikan Bantuan Terhadap Masyarakat Nelayan

Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi III DPRD Kota Batam
BATAM KEPRIAKTUAL.Com: Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait Kerusakan Ekosistem dan Lingkungan antara Masyarakat Nelayan Pulau Terong, Kelurahan Belakang Padang, Ketua Komisi III DPRD Batam Nyanyang didampingi Eki Kurniawan, Werton Panggabean, Kepala DLH Kota Batam, Camat Belakang Padang, Lurah Pulau Terong, Kapolsek Belakang Padang, Syahbandar Pulau Sambu, Pimpinan PT Meexter Dirinusa Perdana Batam, PT Asinusa Putra Sekawan Batam, PT Pelindo II Batam, Ketua FKUB MBM Batam, dan Ketua Perwakilan Nelayan Pulau Terong, di Ruang Rapat Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batam, Rabu, (4/10-2017).

Perwakilan masyarakat Nelayan mengatakan, atas adanya perusakan ekosistim lingkungan, terumbu Karang yang dilakukan oleh perusahaan, sehingga daya tangkap nelayan berkurang. "Tangkapan nelayan berkurang akibat terumbu karang rusak," ujarnya.

Ketua Komisi III DPRD Kota Batam, Nyanyang Haris Pratamura dalam RDPU mengatakan, supaya pihak-pihak terkait memberikan penjelasan. Dan meminta perusahaan labuh jangkar di perairan Pulau Nipah tetap peduli kepada warga sekitar. Serta apapun kerjanya, kata Nyanyang, yang pasti tidak mungkin 100 persen kehadiran perusahaaan tersebut tidak berdampak terhadap lingkungan.

"Pasti ada dampaknya, walaupun sedikit, Karena itu, saya berpesan supaya dilakukan koordinasi kepada masyarakat, sehingga tidak terjadi konflik. "Intinya, koordinasilah," katanya.

Direktur PT Meexter Dirinusa Perdana Batam (PT.MDPB) Dwi Harinto, mengatakan sejak dibukanya jasa labuh jangkar diperairan Pulau Nipah negara telah diuntungkan 17 hingga 19 milyar pertahun dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). 

"Padahal dahulu banyak kapal yang labuh jangkar diperairan tersebut, tapi tidak bayar PNPB," kata Dwi seusai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait Kerusakan Ekosistem dan Lingkungan di Ruang Rapat Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batam.

Ia juga menuturkan, pada mulanya sejak tahun 1996 perairan Pulau Nipah 
dijadikan tempat labuh kapal. Namun, pada tahun 1997 zona labuh kapal dipindahkan ke Karimun. Lalu, tahun 2002 setelah diusulkan ke Pemerintah Pusat di perairan Pulau Nipah dijadikan area engker, labuh jangkar kapal dan tidak diperkenankan lewat kabel optik dari Indonesia ke Singapura. 

"Atas persetujuan Pemerintah pusat, PT. MDPB akhirnya diberikan kewenangan yang bekerja sama dengan perusahaan BUMN, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo)," tuturnya.

Selanjutnya, kata Dwi, jika sudah ditetapkan Pemerintah melalui Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) bahwa di zona tersebut sebagai area labuh jangkar kapal, maka masyarakat nelayan dilarang untuk menjaring ikan di zona tersebut. "Aturannya kan seperti itu, diibaratkan ada tembok pembatas," ujarnya.

Namun begitu, tambahnya, bahwa ia tidak serta merta mengesampingkan tanggung jawab sosial perusahaan kepada warga Pulau Nipah, dengan memberikan dana bantuan Corporate Sosial Responsibility (CSR). "Intinya, PT. MDPB telah menggelontorkan dana untuk CSR kepada warga Pulau Nipah, namun kemarin itu ada komplain sedikit, salah sasaran. Tapi, sekarang sudah clear. Perusahaan komitmen dalam memberikan batuan kepada warga sekitar. Dan ini merupakan bentuk tanggung jawab sosial." ujarnya. 


(Red/Kepriaktual.com)
Tags ,


Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator sebagaimana diatur dalam UU ITE. #MariBijakBerkomentar.



Posting Komentar

[blogger]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.