Masalah Pemotongan Kapal Acacia Nassau, Ombudsman Kepri Beberkan Hasil Investigasi KSOP Batam

Kepala Perwakilan Ombudsman Kepri, Lagat Paroha Patar Siadari. (Foto: Istimewa).

BATAM KEPRIAKTUAL.COM
: Kantor Perwakilan Ombudsman Kepri membeberkan hasil investigasi tim internal Kantor Syahbandar Otoritas Pelabuhan (KSOP) Batam terkait masalah pemotongan kapal Acacia Nassau berbendera Bahamas di dock Paxocean, Tanjung Uncang, Batuaji, Batam yang dilakukan oleh PT Graha Trisaka Industri (GTI) yang diageni oleh PT Pelayaran Sinar Mandiri Sejahtera (PMSM) beberapa waktu lalu.

Kepala Perwakilan Ombudsman Kepri, Lagat Paroha Patar Siadari mengatakan, ada 3 hal yang ditanyakan oleh pihaknya kepada KSOP Batam mengenai masalah tersebut.

Menjawab pertanyaan tersebut, kata dia, Kepala KSOP Batam, Mugen S. Hartoto membenarkan bahwa pemotongan kapal tersebut tidak ada izin yang dikeluarkan oleh pihaknya, karena memang izin itu hanya bisa dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjenhubla) Kementerian Perhubungan Indonesia.

"Kemudian pak Mugen juga mengaku ada kesalahan yang dilakukan oleh pihaknya sendiri karena telah dikeluarkan surat UMS No. 209 yang ditanda tangani oleh Kasi Keselamatan Berlayar KSOP Batam, yakni pak Tohara," ujarnya kepada awak media ketika menyampaikan hasil investigasi tim internal KSOP Batam di ruangan kerjanya, Selasa (16/3/2021) lalu.

Lanjut kata dia, namun karena Kepala KSOP Batam, Mugen ini baru dalam masa transisi pergantian pucuk kepemimpinan tiba-tiba terjadi permasalahan tersebut tanpa diketahui dirinya, maka dari pada itu dia meminta waktu kepada Ombudsman Kepri untuk melakukan investigasi.

"Memang permasalahan yang terjadi di PT GTI dan PT PSMS selaku pemilik kapal atau agen, serta pekerja untuk melakukan pemotongan, memang telah terbit suratnya ini (UMS No. 209) pada tanggal 22 Februari 2021 oleh Kasi Bidang Keselamatan Pelayaran KSOP Batam muncul kemudian yang menjadi masalah pada tanggal 3 Maret 2021 adanya pemberitaan dari media Kepri News dan adanya laporan dari salah satu LSM Kota Batam yang menduga adanya kegiatan pemotongan ilegal pada bagian kapal tersebut yang menimbulkan pencemaran lingkungan," bebernya

"Adapun tindak lanjutnya, menurut pak Mugen mengatakan yang mengeluarkan surat UMS No. 209 tersebut harus bertanggungjawab menyelesaikan permasalahan ini karena telah mengeluarkan surat tersebut," sambungnya.

Mengapa demikian, kata Lagat, tujuannya itu agar jangan ada lagi menaruh kapal itu (Acacia Nassau) di area tersebut (Paxocean) karena masih ada benderanya. Artinya kalau ada benderanya berarti kapal ini masih beroperasi.

"Padahal, kondisinya kan sudah menjadi skrap. Berarti penghapusan bendera kapal tersebut ketika sudah menjadi skrap," ungkapnya.

Kata dia, setelah munculnya berita masalah pemotongan kapal itu ke publik, pada tanggal 3 Maret yang baru dilakukan penghapusan bendera oleh pihak perusahaan.

Meskipun, ada hal-hal yang menjadi tangguhan kapal seperti biaya untuk berlabuh tambat di Batam dan semacamnya. Kemudian juga ada kalkulasi yang dilakukan oleh PT GTI dan PT PSMS terhadap permintaan masyarakat sekitar yang menuntut adanya ganti rugi atau kompensasi akibat adanya dugaan pencemaran.

"Jadi menurut hasil investigasi KSOP ini, sudah ada kesepakatan antara PT GTI dengan masyarakat namun tidak terlaksana karena tidak cocok harganya sehingga permasalahan ini terus di munculkan ke publik," katanya.

Selanjutnya, pada tanggal 17 Februari 2021 rapat dengar pendapat (RDP) yang pertama dilakukan oleh Komisi III DPRD Kota Batam di bidang lingkungan.

Yang dihadiri oleh PT GTI, KSOP Batam, Lurah, Camat, DLHK Kepri, dan termasuk LSM yang melaporkan permasalahan itu. Lagat juga mengatakan, pada waktu RDP di Komisi III tersebut dilakikan secara tertutup.

"Hasilnya dalam RDP tersebut mengatakan tidak ada ditemukan bukti yang akurat sebagaimana pencemaran yang dimaksud (laporan LSM) itu menurut DLHK Kepri. Untuk itu harus dilakukan uji sampling dan pengambilan sampling yang harus dilakukan oleh Badan Hukum dalam hal ini surveyor yang terdaftar," ujarnya.

Menanggapi hal ini, menurut Lagat seharusnya pihak pemerintah Kota Batam harusnya bisa berinisiatif sendiri melalui DLH Kota Batam untuk melakukan uji dan pengambilan sampling tersebut.

Karena dalam hal ini merupakan kebutuhan pemerintah dalam rangka mengantisipasi pencemaran laut yang dapat ditimbulkan.

"Seharusnya pemerintah dalam hal ini harus bisa membuktikan kepada publik atau masyarakat tanpa harus ada permintaan terlebih dahulu," tegasnya.

Bisa saja salah satu langkahnya yakni berkoordinasi langsung dengan pihak surveyor untuk mengusut dugaan pencemaran lingkungan yang dilakukan.

Kemudian berdasarkan hasil investigasi pihak KSOP Batam itu, Lagat juga menuturkan bahwa pihak PT GTI dan PY PSMS selaku pemilik dan agen kapal telah menyerahkan dokumen lingkungan berupa Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) ke staf ahli Komisi III DPRD Kota Batam.

"Nah ini berati ada Amdalnya, Amdal pemotongan itu berarti sudah dikasih kepada staf ahli Komisi III, berarti ada barang itu, tidak mungkin kalau tidak ada tetapi dikasih kepada staf ahli Komisi III dan ini akan kita cek," kata Lagat.

Lalu, dalam RDP itu juga dikatakan ada juga bantuan dana CSR yang telah dilakukan oleh perusahaan namun tidak tepat sasaran pengelolaannya.

"Mungkin yaitu tadi bentuk kompensasi yang telah dikeluarkan perusahaan kepada masyarakat yang meminta ganti rugi itu, karena tidak ada dasar CSR (Corporate Sosial Responbility) diberikan karena baru saja kapal itu di sana selama 1 bulan. Jadi ada kompensasi yang telah diberikan kepada masyarakat tapi bahasanya CSR ya biasalah itu, namun tidak tepat sasaran," ungkapnya.

Karena dana bantuan tersebut tidak tepat sasaran, maka kata dia, LSM yang melaporkan ini belum mendapatkan dana tersebut, sehingga pihaknya menduga maka permasalahan itu diributkan kembali.

"Setelah itu, perusahaan tersebut berkomitmen untuk memberikan CSR lagi kepada masyarakat dan LSM agar tepat sasaran," jelasnya.

Sehingga, Komisi III DPRD Kota Batam menyimpulkan pada RDP waktu itu tidak cukup bukti ditemukan adanya pencemaran lingkungan, lalu di wilayah pekerjaan pemotongan kapal harus ada uji dan pengambilan sampling yang dilakukan oleh lembaga surveyor.

Selain itu, menurut Komisi III DPRD Kota Batam aktivitas pemotongan kapal tersebut adalah upaya pertumbuhan ekonomi yang harus didukung oleh semua pihak apalagi pada saat masa pandemi seperti saat ini.

"Namun, LSM tetap ngotot untuk meminta bantuan CSR kepada pihak perusahaan, sayangnya tidak disebutkan LSM mana dia dalam investigasi ini. Karena LSM itu menganggap ada kegiatan pencemaran lingkungan yang dilakukan PT GTI terhadap masyarakat setempat," katanya.

Selanjutnya, Lagat menjelaskan ada juga RDP yang dilakukan oleh Komisi I DPRD Kota Batam mengenai masalah hukum yang dilakukan oleh PT GTI dan PT PSMS.

Dalam RDP tersebut, kata Lagat, KSOP Batam mengatakan ada dugaan kerugian negara yang ditimbulkan akibat pemotongan kapal ini dalam bentuk  Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai dengan PP No. 15 tahun 2016 tentang jenis dan tarif PNBP terkait skrap sebesar Rp. 50 ribu perton.

"Pihak KSOP Batam menduga ada potensi kerugian negara dalam hal PNBP yang seharusnya diambil alih oleh negara melalui KSOP. Jadi kapal yang dipotong itu pertonnya sebesar Rp. 50 ribu PNBP nya," ungkapnya.

Setelah itu, kata dia, hasil investigasi KSOP Batam ini menyebutkan pada tanggal 10 Februari 2021 atas perintah langsung Kepala KSOP yang baru, Mugen S. Hartoto untuk diterbitkan surat penghentian kegiatan pemotongan kapal tersebut supaya ditutup pada waktu itu.

Selain itu, berdasarkan hasil investigasi tersebut juga menjelaskan terkait permasalahan ini menurut Bea Cukai Batam sesuai dengan kewenangannya mereka mengatakan tidak ada kerugian negara yang ditemukan, karena skrap ini tidak untuk diekspor.

"Imigrasi juga mengaku tidak ada kerugian negara yang ditemukan pada kegiatan ini berdasarkan kewenangan mereka, Kemudian KKP juga mengatakan tidak ada kerugian negara yang ditemukan karena telah melalui prosedur," kata Lagat

Sementara, dari pihak DLHK Kepri mengatakan tidak ada bukti akurat mengenai pencemaran lingkungan yang ditimbulkan.

Lagat menilai, statment yang dikeluarkan oleh DLHK Kepri dalam investigasi tersebut membuat dirinya bingung, karena harusnya pada saat mereka turun ke lapangan pada tanggal 17 Februari 2021 dan tanggal 1 Maret 2021 mengapa tidak melakukan tindakan apapun oleh pihak DLHK Kepri.

Menurutnya, agak janggal saja statment tersebut dikeluarkan oleh lembaga negara, sementara masyarakat sekitar dan LSM Kota Batam mempermasalahkan dugaan pencemaran lingkungan tersebut.

"Mohon maaf saya mengatakan, ngapain pula mereka ke sana kalau tidak ada mengambil tindakan apapun di lokasi yang sama? agak janggal saja menurut saya apalagi mereka ini lembaga negara,

Kalau tadi mereka ngomongnya perorangan okelah masih kita terima, ini kan mereka mengeluarkan statment atas nama lembaga atau instansi,

Harusnya lakukanlah langkah-langkah yang dibutuhkan kan sudah jelas ada laporan LSM dan juga ada informasi dari pemberitaan media, bagusnya bentuk tim lalu melakukan investigasi untuk menjawab pertanyaan publik tersebut," tegas Lagat.

Selain itu, dari hasil investigasi ini juga mengatakan PT GTI dan PT PSMS menyanggupi dan setuju berapapun dana CSR yang diminta oleh masyarakat dan LSM tersebut, namun saat ini telah putus hubungan atau komunikasinya sampai sekarang.

Maka dari itu, akan dibuat kembali RDP oleh dewan karena dianggap tidak memuaskan permintaan masyarakat 

"Jadi yang kemarin ini pernah saya bilang tumben-tumbenan kok DPRD cepat kali merespon permasalahan ini, memang seperti dugaan saya memang ada unsur kepentingan di sini," ujarnya.

Tidak hanya itu, Lagat juga menilai setelah mempelajari dan membedah hasil investigasi pihak KSOP Batam, ia menyimpulkan akar dari permasalahan ini terletak pada diterbitkannya surat pengawasan pemotongan kapal oleh Kasi Keselamatan Berlayar, Tohara yang secara jelas telah melakukan pelanggaran mal administrasi.

"Dalang dari masalah ini adalah Kasi Keselamatan Berlayar, Tohara. Dia sebenarnya surat keterangan ini baru boleh diterbitkan setelah surat izin pemotongan kapal itu sudah diterbitkan 

Sementara surat ini keluar duluan sebelum surat izin pemotongan kapal dikeluarkan. Seharusnya kalau dari mekanisme sebenarnya harus mendapatkan izin dulu dari Dirjenhubla Kemenhub RI baru bisa izin pengawasan ini dikeluarkan

Jadi kalau izin pengawasan ini dikeluarkan berarti seolah-olah pemotongan kapal ini telah memenuhi syarat," pungkasnya. (Fay)
Tags


Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator sebagaimana diatur dalam UU ITE. #MariBijakBerkomentar.



Posting Komentar

[blogger]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.