Ketua Presidium LSM Kodat 86 Laporkan Gubernur Kepri dan Bupati Bintan ke KPK

Ketua Prosedium, Ta'in Komari
BATAM KEPRIAKTUAL.COM: Ketua Prosedium Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kelompok Diskusi Anti (Kodat) 86, Ta'in Komari laporkan Bupati Bintan dan Gubernur Kepri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan tersebut dengan nomor: 011/LP/KODAT-86/16/2/2019, dugaan tindak pidana korupsi, terkait penerbitan Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada PT. Gunung Bintan Abadi (GBA).

Ta'in Komari mengatakan, telah berlangsungnya aktivitas pertambangan batu bauksit secara illegal yang dilakukan beberapa perusahaan di wilayah Kabupaten Bintan. "Kronologis dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Gubernur Kepri dan Bupati Bintan terkait pertambangan batu bauksit secara illegal," ujarnya, Senin (18/2-2019).

Dalam laporan tersebut menurutnya, pemerintah tidak mengijinkan pertambangan biji batu bauksit di seluruh wilayah NKRI tanpa mendirikan smelter untuk pengolahan minimal tingkat dasar. Kenyataannya di Kabupaten Bintan dan wilayah Provinsi Kepri tidak ada berdiri perusahaan pengelolaan batu bauksit berupa smelter.

"Maka semua Ijin Usaha Pertambangan (IUP) tidak dapat beroperasi atau melaksanakan kegiatan pertambangan biji bauksit di wilayah Provinsi Kepri," katanya.

Kemudian, kata Ta'in, Gubernur Provinsi Kepri melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Provinsi Kepri telah mengeluarkan IUPK yang diberikan kepada PT. GBA, dengan nomor yang menjadi dasar PT. GBA mengajukan kuota ekspor kepada Direktorat Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan RI dengan nomor 03.PE-08.18.0009 tertanggal 27 Maret 2018, intinya adalah Persetujuan Ekspor Produk Pertambangan dengan Kriteria Tertentu, dengan kuota 1,6 juta ton.

Meskipun ketentuan yang diatur dalam keputusan Dirjen. Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan RI tersebut jelas, hasil pertambangan yang sudah diolah. "Nyatanya PT. GBA melakukan ekspor batu bauksit kotor tanpa olahan sama sekali, dan semua pihak berwenang diam saja," ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, PTSP Provinsi Kepri juga mengeluarkan Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Untuk Penjualan CV Buana Sinar Katulistiwa (BSK). Dan itu dikeluarkan melalui Surat Keputusan Gubenur Provinsi Kepri Nomor 3141/KPTS-18/XI/2018.

"Ternyata salah satu pemegang sahamnya adalah Sekrataris Camat Bukit Bestari Kabupaten Bintan, Bobby Satya Kifana. Dimana salah satu wilayahnya Tembeling adalah lokasi pertambangan CV. BSK. Hasil pertambangannya kemudian dijual kepada PT. GBA sebagai pemegang kuota ekspor," tuturnya.

PTSP Provinsi Kepri juga mengeluarkan ijin-ijin usaha lainnya seperti Ijin Pematanganan Lahan untuk Pergudangan kepada CV. Kuantan Indah Perdana dengan nomor 570/181/DPMPTSP-05/2018 tertanggal 22 Maret 2018, di mana aktivitas yang dilakukan perushaan tersebut adalah penambangan batu bauksit, yang kemudian dijual kepada PT. GBA.

Hal yang sama juga diberikan kepada perusahaan-perusahaan lainnya, dengan ijin tertentu tapi perusahaan dimaksud justru melakukan aktivitas pertambangan batu bauksi dan menjualnya kepada PT. GBA sebagai pemegang kuota ekspor. Misalnya perusahaan mendapatkan ijin untuk pembukaan lahan untuk perikanan, pertamanan dan lainnya-tapi di lapangan melakukan pertambangan batu bauksit.

"Hasil investigasi dan penindakan Tim Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Tim Gakum KLHK) sejak tanggal 5 Februari 2019 lalu, setidaknya ada 19 perusahaan yang telah mendapatkan ijin usaha tertentu dari PTSP Provinsi Kepri, namun di lapangan melakukan aktivitas pertambangan batu bauksit, kemudian menjualnya kepada PT. GBA sebagai pemegang kuota ekspor," tutur Ta'in.

Lebih lanjut Ta'in mengugkapkan, semua ijin-ijin usaha tersebut merupakan Keputusan Gubernur Provinsi Kepri. Namun anehnya, menggunakan kop surat Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) Provinsi Kepri dan ditandatangani Kepala DPM-PTSP Provinsi Kepri, H. Azman Taufik.

Padahal sesuai dengan ketentuan administrasi tata Negara, Surat Keputusan Gubernur harusnya ditandatangani secara langsung oleh Gubernur sesuai dengan kewenangan jabatan yang melekat padanya.

"Penggunaan kop surat dan tanda tangan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Kepri tersebut adalah indikasi pengalihan tanggung jawab kewenangan dan pengalihan tanggung jawab, apabila di kemudian hari, Surat Keputusan dimaksud bermasalah secara hukum, seolah gubernur tidak terlibat dan tidak mengetahui soal surat keputusan tersebut," katanya.

Karena itu, tuturnya, ada indikasi Gubernur Provinsi Kepri diduga menerima suap dan gratifikasi dari hasil pertambangan batu bauksit secara illegal dan kegiatan ekspor batu bauksit tersebut secara langsung atau menggunakan tangan orang lain. Pembiaran terhadap aktivitas tambang batu bauksit secara illegal yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan hutan sangat parah menjadi indikasinya, bahkan Gubernur menyatakan tidak mengetahui aktivitas tambang batu bauksit di wilayahnya dan kerusakan lingkungan/hutan tersebut.

Demikian juga dengan Bupati Bintan, yang melakukan pembiaran terhadap aktivitas pertambangan batu bauksit secara illegal yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan hutan sangat parah di wilayahnya. Padahal, sebagai kepala daerah, Bupati Bintan memiliki kewenangan dan otoritas melakukan penghentian secara paksa dan melaporkan kegiatan illegal, penjualan batu bauksit illegal ke luar negeri, dan kerusakan hutan kepada instansi berwenang baik penegakan hukum maupun administrasi.

"Kenyataannya Bupati Bintan bersikap masa bodoh karena ada indikasi keterlibatan langsung atau tidak langsung. Aktivitas pertambangan batu bauksit dengan memanfaatkan Ijin Usaha Tertentu melalui Surat Keputusan Gubernur Provinsi Kepri jelas-jelas telah menguntungkan dan memperkaya orang lain dan/atau korporasi, bahkan ada indikasi memperkaya diri sendiri dengan menerima suap atau gratifikasi dalam pemberian ijin-jin tersebut," katanya.

"Paling tidak Gubernur telah menyalahgunakan kewenangan yang melekat pada jabatannya yang merugikan Negara dan memperkaya orang lain dan/atau korporasi. Hal ini jelas melanggar dan memenuhi unsur pada kententuan Pasal 2 dan 3 UU No. 30 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi"


Red
Tags


Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator sebagaimana diatur dalam UU ITE. #MariBijakBerkomentar.



Posting Komentar

[blogger]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.