Dakwaan Jaksa Kangkangi Peradilan Anak di Bawah Umur

Penasehat Hukum LBH Mawar Saron
BATAM KEPRIAKTUAL.COM: Terdakwa RA anak dibawah umur yang sedang berjalan di Pengadilan Negeri (PN) Batam, kasus pencurian yang dilakukan pada tahun 2017 lalu. Penasehat Hukum terdakwa Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mawar Saron Batam, meminta Majelis Hakim yang menangani, memeriksa dan mengadili perkara ini, untuk membatalkan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Ditunjuk terdakwa sebagai Penasehat Hukumnya, kata Direktur LBH Mawar Saron Batam, Philipus Harapenta Sitepu, tidak ada biaya atau biasa disebut pro bono. Terdakwa RA anak dibawah umur merupakan keluarga dari kurang mampu.

"Terdakwa RA melakukan tindak pidana pencurian pada 31 Agustus 2017 lalu. Saat itu, terdakwa yang lahir pada 3 Maret 2000 silam masih berumur 17 tahun atau belum kategori dewasa," ujar Philipus Harapenta Sitepu dalam presrilisnya, Kamis (6/9-2018).

Seperti peribahasa, lanjutnya, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Benar saja, terdakwa anak, akhirnya ditangkap pada tanggal 31 Mei 2018 saat hendak menggunakan sepeda motor Honda Revo hasil curian yang dilakukan bersama rekannya AD (DPO).

Hal ini juga merupakan poin-poin penting yang diuraikan LBH Mawar Saron Batam dalam eksepsi atas surat dakwaan jaksa yang dibacakan di persidangan dengan pidana biasa, bukan pidana anak. Setelah ditangkap pada 31 Mei 2018, seketika itu pula RA ditahan oleh Polsek Nongsa. Sejak tanggal 1 Juni 2018, penahanan pun berjalan hingga akhirnya terdakwa RA dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Batam untuk dilakukan penuntutan.

"Selanjutnya terdakwa RA didakwa oleh Kejaksaan Negeri Batam dengan pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHPidana, di mana terdakwa RA dituduh melakukan pencurian dengan pemberatan terhadap satu unit sepeda motor milik korban pada 1 September 2017 di Kavling Danau Indah Punggur Blok Tulip 5 nomor 24, Kelurahan Kabil, Kecamatan Nongsa, Kota Batam," katanya.

Terdakwa RA adalah masyarakat miskin yang berpendidikan rendah, dihadapkan dengan permasalahan hukum yang sedikitpun tidak dimengerti olehnya. Namun karena ketidaktahuannya tersebut, selama proses pemeriksaan di tingkat kepolisian, RA 'terpaksa' diam seribu bahasa dan hanya mengiyakan saja apa yang disodorkan atau tidak disodorkan kepadanya.

Persoalan hukum ini adalah suatu hal yang asing bagi diri terdakwa RA yang sehari-hari tidak bekerja dan kalaupun ada hanyalah pekerjaan serabutan. "Sempat berputus asa, pasrah, dan siap menerima segala konsekuensi akan perbuatannya. Setelah bertemu dengan LBH Mawar Saron Batam, terdakwa RA sepakat untuk memperjuangkan nasibnya bersama-sama demi mencari kebenaran. Sehingga LBH Mawar Saron Batam mendampingi terdakwa RA di persidangan," tegas Philipus Harapenta.

Dari awal proses hukum oleh pihak kepolisian sejak 1 Juni 2018, terdakwa RA tidak pernah berbohong dan malah selalu berkata jujur akan perbuatan pidana yang telah dilakukannya bersama tiga orang temannya. Bahkan terdakwa RA juga membantu pihak Kepolisian untuk mengungkapkan siapa-siapa saja pelakunya.

Terdakwa RA tersebut saat melakukan tindak pidana adalah 17 tahun 6 bulan atau belum genap 18 tahun. Bahwa Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) telah mengatur tentang hukum acara khusus guna perlindungan hukum dalam sistem peradilan pidana anak.

"Berdasarkan UU tersebut terdakwa RA harus diajukan ke sidang anak bukan ke peradilan dengan acara biasa sehingga surat dakwaan jaksa penuntut umum harus dinyatakan batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima. Hal ini diatur dalam pasal 20 UU SPPA yang menyatakan, 'Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 tahun, tetapi belum mencapai umur 21 tahun, anak tetap diajukan ke sidang anak'. Ini yang menjadi dasar kami mengajukan eksepsi," bebernya.

Selain itu, sambung Pholipus, terdakwa RA yang sudah mendekam dibalik jeruji besi selama 60 hari tentu sangat bertentangan dengan pasal 33 UU SPPA. Sedangkan bilamana terdakwa RA mendapatkan proses hukum yang sesuai sebagaimana dimaksud dalam UU SPPA ini, untuk kepentingan penyidikan hanya harus ditahan paling lama 15 hari.

Kalau saja Terdakwa Anak di proses sebagaimana diamanatkan oleh UU SPPA tersebut, mulai dari penyidikan sampai kepada pengadilan, jumlah keseluruhan masa penahanannya pun hanya berjumlah 50 hari (vide pasal 33 sampai dengan pasal 35 UU SPPA). Sehingga masa penahanan yang sudah dijalani terdakwa RA sampai saat ini berjumlah kurang lebih 96 hari.

"Seharusnya terdakwa RA tidak merasakan pahitnya kehidupan di balik jeruji besi terlalu lama," ujarnya.

Masih kata Philipus, surat dakwaan tidak dapat diterima karena terdakwa RA tidak didampingi oleh penasihat hukum (miranda rule) selam proses penyidikan, dim ana ini juga didasari karena pasal 56 ayat (1) KUHAP mengatur jelas dengan menyebutkan 'Dalam hal tersangka atau terdakwa anak disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk Penasihat Hukum bagi mereka'.

"Oleh karena itu pelanggaran terhadap hak atas bantuan hukum berakibat pada pemeriksaan menjadi tidak sah (ilegal) atau batal demi hukum (Null and Void)," tegasnya.

Pada akhir eksepsi yang diajukan PH terdakwa RA, memohon agar kiranya majelis hakim di PN Batam yang memeriksa dan mengadili perkara terdakwa memutus dengan amar putusan:

1. Menerima Nota Keberatan (Eksepsi) yang diajukan oleh terdakwa RA atau Tim Penasihat Hukum untuk seluruhnya;
2. Menyatakan surat dakwaan penuntut umum batal demi hukum (null and void ) atau setidak-tidaknya menyatakan surat dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).
3. Memerintahkan agar mengeluarkan terdakwa RA dari Rumah Tahanan Negara.

Apabila majelis hakim yang mulia berpendapat lain, mohon putusan yang seadil adilnya (Ex aequo et bono).

Usai pembacaan eksepsi tersebut, ketua majelis hakim Yona Lamerosa menunda sidang selama satu pekan. Sidang akan dilanjukan pada Kamis (13/9/2018) untuk mendengar tanggapan penuntut umum atas eksepsi tersebut.


Alfred/Red
Tags ,


Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator sebagaimana diatur dalam UU ITE. #MariBijakBerkomentar.



Posting Komentar

[blogger]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.