IRAN - Negara Iran dan Arab Saudi yang merupakan Negara Muslim Berpengaruh memilih untuk memutus hubungan diplomatik setelah Riyadh akhir pekan lalu mengeksekusi seorang ulama Syiah terkemuka yang dicap sebagai pembangkang.
Para analis mengatakan Arab Saudi, di bawah tekanan penurunan harga minyak dan tantangan yang meningkat dari Iran, ingin mengirim pesan jelas kepada siapa pun yang berani menantang otoritas kerajaan itu.
Ketegangan sektarian antara Arab Saudi dan Iran dan sekutu regional mereka meledak menjadi kemarahan setelah Riyadh mengeksekusi ulama Syiah terkemuka.
"Ini adalah eskalasi dramatis di pihak Saudi. Tapi ini merupakan cerminan perang dingin besar yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun," kata Aaron David Miller, analis Timur Tengah di Woodrow Wilson International Center.
Tehran berang, menuduh Riyadh menghasut anarki di kawasan itu. Ishaq Jahangiri, wakil presiden pertama Iran melontarkan tuduhan itu.
"Hal-hal yang Anda lakukan pada masa lalu, seperti membuat kelompok teroris, apa yang dibawanya ke kawasan ini selain kekacauan? Apa yang ditimbulkannya selain menciptakan kekacauan di Suriah, Irak dan di tempat lain?" katanya.
Muslim Syiah di Baghdad menyamakan tindakan Riyadh itu dengan kelompok militan Sunni Negara Islam atau ISIS. Tapi Riyadh juga mengeksekusi puluhan pembangkang ekstremis Sunni.
"Ini adalah cara mengirim pesan jelas, baik untuk setiap calon pembangkang Syiah maupun jihadis Sunni," kata Aaron David Miller.
Terlepas dari niatnya, eksekusi ulama Sheikh Nimr al-Nimr, kemungkinan besar akan memarakkan ketegangan sektarian di seluruh kawasan.
"Perang sekarang sedang berkecamuk di Suriah dan di Yaman, Irak, ada ketegangan di tempat-tempat seperti Bahrain, dan Lebanon, dan dengan melakukan hal ini mereka hanya memperdalam perpecahan Sunni-Syiah," kata Barbara Slavin, analis di Atlantic Council.
Eksekusi itu juga dapat merusak upaya diplomatik yang sedang dilakukan untuk mengakhiri perang di Suriah.
"Bagaimana Iran dan Saudi sekarang duduk bersama untuk pembicaraan perdamaian setelah apa yang terjadi?" imbuhnya.
Arab Saudi membela tindakannya dengan mengatakan bahwa Iran, sekutu-sekutunya, dan Sheikh al-Nimr lah yang mempromosikan terorisme.
Perselisihan baru antara Arab Saudi dan Iran ini muncul pada saat Iran tampaknya hampir menuntaskan kewajibannya untuk mendapatkan keringanan dari sanksi yang melumpuhkan terkait perjanjian nuklir internasional.
Para pejabat Iran telah mengatakan mereka bwerharap dapat mencapai apa yang disebut Hari Implementasi pada bulan Januari.
Menteri Luar Negeri Amerika John Kerry telah mengadakan beberapa putaran pembicaraan diplomatik dengan Arab Saudi dan sekutu Teluk lainnya yang telah menyatakan keprihatinan bahwa Iran yang kuat tanpa sanksi bisa menguncang kawasan tersebut.
Di tengah keretakan baru antara kedua negara itu, AS mungkin perlu kembali merangkul Arab Saudi untuk meredakan kekhawatirannya, kata Patrick Clawson, analis di Washington Institute for Near East Policy.
"Jaminan ini khususnya akan sangat membantu saat kesepakatan nuklir bergerak maju dan sanksi diringankan pada Hari Implementasi," katanya.
Masih belum jelas bagaimana pengaruh meningkatnya ketegangan antara Arab Saudi dan Iran terhadap isu-isu regional lain di mana AS berkepentingan.
Namun, juru bicara Departemen Luar Negeri John Kirby, mengatakan AS akan terus melakukan sebisanya untuk meredakan ketegangan.
"Kami secara konsisten telah mendesak semua pihak untuk meredakan ketegangan di kawasan itu sehingga kita semua dapat terus bekerja untuk menyelesaikan masalah mendesak di Irak, Suriah, Yaman dan tempat lain di Timur Tengah," katanya. (Sumber VOA.com)
Posting Komentar